Nabi Muhammad SAW bersabda, “Aku berlindung kepada Allah dari ilmu yang tidak bermanfaat.” Lalu, apa itu ilmu yang tidak bermanfaat?

Jawaban

Saudara kami yang terhormat,


Sedekah ilmu,

Ilmu yang kita pelajari harus terlebih dahulu kita terapkan dalam kehidupan kita sendiri, baru kemudian kita sampaikan kepada orang lain. Hal-hal baik dan benar yang kita ketahui harus diajarkan kepada orang yang belum mengetahuinya dengan cara terbaik. Karena zakat ilmu adalah mengajarkannya kepada orang yang belum mengetahuinya. Orang yang menyuruh berbuat baik dan mencegah keburukan harus mencontohkan kebaikan yang disarankan dan tidak melakukan hal-hal buruk yang dilarang! Jika ia melakukan hal tersebut, kata-katanya tidak akan berpengaruh. Sebagaimana firman Allah dalam Al-Qur’an:


“Apakah kalian akan menyuruh orang lain berbuat baik, tetapi melupakan diri kalian sendiri?!”

(Al-Baqarah, 2/44)

Mempelajari ilmu pengetahuan untuk tujuan pamer dan menonjolkan diri di atas orang lain adalah hal yang tidak disukai.


Tidak ada agama lain yang menaruh perhatian sebesar Islam terhadap ilmu pengetahuan.

Kata “ilmu” (pengetahuan) saja disebutkan seratus lima kali dalam Al-Qur’an. Jika dihitung bersama kata-kata lain yang berakar sama, jumlahnya mencapai delapan ratus lima puluh sembilan kali. Selain itu,

“akal, pikiran, zikir”

Kata-kata seperti itu sering disebut dalam Al-Qur’an.


Menurut Islam, ilmu dan hikmat adalah harta yang hilang bagi orang beriman;

Orang beriman menerimanya di mana pun ia menemukannya, tanpa memandang tempat dan siapa yang mengatakannya. Awal dari setiap kejahatan, bahkan kufur dan syirik, adalah ketidaktahuan dan kebodohan. Orang yang tahu apa arti kufur tidak akan menjadi kafir. Orang yang tahu apa arti syirik tidak akan menyekutukan Allah, tidak akan menyembah selain Allah. Oleh karena itu, dalam Al-Qur’an…


“Jangan sampai kau menjadi orang yang bodoh.”

(Al-An’am, 5/35)

telah diperintahkan. Sesuai dengan apa yang dinyatakan secara jelas dalam Al-Qur’an.


“Hanya orang-orang yang berilmu di antara hamba-hamba-Ku yang takut kepada Allah.”

(Al-Fathir, 35/28).

Dalam Al-Qur’an, segala jenis ilmu pengetahuan dipuji, dan dinyatakan dengan jelas bahwa orang yang berilmu tidak akan pernah sama dengan orang yang tidak berilmu:


“Mungkinkah orang yang tahu dan orang yang tidak tahu akan menjadi satu?”

(Az-Zumar, 39/9).

Islam telah mengangkat nilai ilmu, ulama, dan pencari ilmu. Dalam Al-Qur’an…


“Allah akan meninggikan derajat orang-orang yang beriman di antara kamu dan orang-orang yang diberi ilmu.”

(Al-Mujadila, 58/15) demikianlah.

Rasulullah SAW juga bersabda dalam hadis-hadisnya:


“Barangsiapa menempuh jalan untuk menuntut ilmu, maka Allah akan membukakan baginya jalan-jalan surga. Malaikat-malaikat akan menjulurkan sayapnya di jalan yang ditempuh orang yang menuntut ilmu, karena rasa hormat dan kerendahan hati mereka. Segala sesuatu yang ada di langit dan di bumi, bahkan ikan-ikan di dalam air, memohon rahmat kepada Allah untuk orang yang berilmu. Keutamaan orang berilmu di atas orang yang beribadah tanpa ilmu, seperti keutamaan bulan purnama di atas bintang-bintang lainnya. Ulama adalah pewaris para nabi. Para nabi tidak meninggalkan emas atau perak, mereka hanya mewariskan ilmu. Barangsiapa mengambil ilmu, maka ia telah mengambil sesuatu yang besar dan berharga.” (Abu Dawud, Ilm, 1)

.


“Barangsiapa keluar dari rumahnya atau tempat tinggalnya untuk menuntut ilmu, maka ia berada di jalan Allah sampai ia kembali.”


(Tirmizi, Ilm, 2).


“Para ulama adalah lentera dunia, penerus para nabi. Mereka adalah pewarisku dan para nabi lainnya.”


(Keşfü’l Hafâ, H. No: 751).

Dalam Islam, ilmu dipelajari untuk mendapatkan ridho Allah dan beramal. Nabi Muhammad (saw) dalam doanya;


“Ya Allah, berilah manfaat ilmu yang telah Engkau ajarkan kepadaku, ajarkanlah ilmu yang bermanfaat bagiku, dan tambahkanlah ilmuku.”


(Tirmizi, Da’wat, 128);


“Aku berlindung kepada Allah dari ilmu yang tidak bermanfaat.”

(Tirmizi, Da’awat, 68) beliau biasa mengucapkannya.

Terlihat bahwa kunci kebahagiaan dunia dan akhirat adalah ilmu. Ilmu adalah amal yang paling mulia. Berdasarkan perintah dan perkataan di atas, dapat dikatakan bahwa Islam dan ilmu adalah dua hal yang tak terpisahkan.

Dunia adalah ladang akhirat dan awal jalan menuju Allah. Ada sejumlah prinsip yang ditetapkan untuk menjaga ketertiban dunia. Kekuatan yang mengatur dan menyatukan manusia dalam segala aspek kehidupan—ekonomi, sosial, agama, dan duniawi—di dunia ini hanya dapat diperoleh melalui ilmu.

Ilmu membersihkan jiwa dari kejahatan yang merusak; menerangi manusia sehingga mencapai akhlak yang baik dan mengajarkan jalan menuju akhirat. Ilmu adalah sifat kesempurnaan Allah. Kehormatan para nabi dan malaikat berasal dari ilmu. Menuju hadirat Allah dengan ilmu. Ilmu itu sendiri adalah kebajikan.

Orang yang berilmu adalah orang yang menunjukkan jalan yang benar dan sejati kepada orang banyak yang tidak tahu.


“Sampaikanlah kepada manusia apa yang telah diwahyukan kepadamu dari Tuhanmu.”

(Al-Maidah, 5/67)

berada di jejak nabi yang menjadi sasaran perintah ilahi.


Menyembunyikan Ilmu:


Apakah para ulama wajib menyampaikan ilmu yang mereka miliki kepada orang lain? Dengan kata lain, apakah menyembunyikan ilmu merupakan tindakan yang tercela dan merupakan dosa?

Dalam Al-Qur’an, beberapa ayat telah diturunkan mengenai hal ini, yang berkaitan dengan Yahudi dan Kristen, dan hukumnya mencakup juga umat Islam. Imam Suyuti

“ad-Durru’l-Mansur”

Dalam kitabnya, ia meriwayatkan dari Ibnu Abbas bahwa Muaz bin Jabal dan beberapa sahabat bertanya kepada sekelompok ulama Yahudi tentang beberapa hukum dalam Taurat. Orang-orang Yahudi menyembunyikan informasi ini dan menolak untuk memberitahukannya. Kemudian, ayat ini diturunkan:


“Orang-orang yang menyembunyikan ayat-ayat yang telah Kami turunkan dan petunjuk-petunjuk yang Kami jelaskan dengan jelas dalam Kitab, setelah Kami jelaskan kepada manusia, maka mereka akan dilaknat oleh Allah dan dilaknat oleh semua orang yang berhak melaknat. Kecuali orang-orang yang bertaubat, memperbaiki keadaan mereka dan menjelaskan kebenaran, maka Aku akan mengampuni mereka, karena Aku Maha Penerima Taubat, Maha Pengampun.”

(Al-Baqarah, 2/159-160).

Di antara informasi yang disembunyikan oleh orang Yahudi terdapat hukuman hukuman mati dengan cara dilempari batu, serta kabar yang memberitakan kedatangan Nabi Muhammad (saw). Sebagaimana firman Allah dalam sebuah ayat;


“Mereka mengikuti utusan yang mereka temukan (sifat-sifatnya) tertulis di dalam Taurat dan Injil yang mereka miliki, yaitu Nabi yang tidak bisa membaca dan menulis.”

(Al-A’raf, 7/157).

Namun, pengecualian berlaku bagi mereka yang bertaubat dan berhenti menyembunyikan hukum-hukum Islam, yang beriman kepada Nabi Muhammad (saw), yang memperbaiki jalan hidupnya, dan yang menjelaskan kepada manusia apa yang telah diwahyukan Allah kepada para nabi-Nya. Jika mereka berhenti menyembunyikan hukum-hukum Islam, Allah akan menerima taubat mereka dan memberikan rahmat serta ampunan kepada mereka.

Ketentuan ayat tersebut tidak hanya berlaku untuk Ahli Kitab; tetapi juga mencakup semua orang yang menyembunyikan ayat-ayat Allah dan tidak menjelaskan hukum-hukum syariah. Karena, seperti yang dikatakan oleh para ulama ushul, gaya penyampaian ayat tersebut mencakup makna umum tanpa terikat pada sebab khusus.

Abu Hayyan berkata: “Jelaslah bahwa meskipun ada sebab turunnya ayat yang khusus, makna umum ayat tersebut berlaku bagi siapa pun yang menyembunyikan ilmu, baik itu Ahli Kitab maupun orang lain. Ayat tersebut mencakup siapa pun yang menyembunyikan ilmu yang merupakan bagian dari agama Allah dan perlu disebarkan dan disampaikan. Hadis berikut menafsirkan ayat ini:


“Barangsiapa ditanya tentang ilmu agama yang telah dipelajarinya, lalu ia menyembunyikan pengetahuannya itu karena berbagai alasan, maka pada hari kiamat ia akan dipukul dengan palu dari api.”

(Ibn Majah, Mukaddimah 24; Abu Dawud, Ilm, 17; Tirmizi, Ilm 3)

Para Sahabat juga memahami ayat ini dengan cara yang sama. Diriwayatkan bahwa Abu Hurairah berkata:


“Seandainya tidak ada ayat dalam kitab Allah, aku tidak akan meriwayatkan hadis apa pun kepadamu.”

Abu Hurairah telah membacakan ayat yang berkaitan dengan mereka yang menyembunyikan ilmu.

(Abu Hayyan, al-Bahr al-Muhit, I/454).

Di sisi lain, beberapa ulama, berdasarkan ayat di atas, menyatakan bahwa menerima bayaran untuk membaca Al-Qur’an tidak diperbolehkan, karena dikhawatirkan akan menyebabkan ilmu disembunyikan. Menurut mereka, ayat tersebut memerintahkan untuk memperjelas, menyebarkan, dan tidak menyembunyikan hukum-hukumnya. Seseorang tidak menerima bayaran untuk ibadah yang wajib baginya, seperti halnya seseorang tidak berhak menerima bayaran karena shalat. Karena shalat adalah ibadah untuk mendekatkan diri kepada Allah. Oleh karena itu, bayaran yang diterima untuk mengajar shalat tidak diperbolehkan.

Namun, para ulama selanjutnya (Mutaakhirun) berpendapat bahwa jika tidak ada upah atau gaji, tugas dan pekerjaan keagamaan akan diabaikan, penyebaran dakwah agama tidak akan meluas, dan ilmu pengetahuan akan terus hilang. Oleh karena itu, mereka memberikan fatwa bahwa mereka yang bertugas dalam pendidikan, pengajaran, dan dakwah ilmu agama dapat menerima upah sebagai imbalan atas layanan mereka.


Salam dan doa…

Islam dengan Pertanyaan-Pertanyaan

Pertanyaan Terbaru

Pertanyaan Hari Ini