Karakteristik apa saja yang harus dimiliki oleh saksi nikah?

Detail Pertanyaan


– Apakah orang yang akan menikah (laki-laki atau perempuan) harus mengenal para saksi?

– Jika tidak mengenal, apakah pernikahan tersebut sah?

Jawaban

Saudara kami yang terhormat,

Fungsi saksi dalam pernikahan hanyalah mendengarkan dan memahami tawaran dan penerimaan yang berkaitan dengan pernikahan. Untuk itu, para saksi harus berada di tempat yang sama dan bersama-sama. Kesaksian orang-orang yang menyaksikan keinginan untuk menikah secara terpisah atau di tempat yang sama tetapi satu demi satu tidak dianggap sah.

Di tempat yang sama, kedua saksi harus mendengar apa yang dikatakan oleh pasangan yang akan menikah.

Nikah yang dilakukan dengan saksi yang memenuhi syarat adalah sah.


Kualifikasi yang dicari pada saksi-saksi adalah sebagai berikut:


a.

Saksi haruslah orang yang waras dan dewasa. Kesaksian orang yang sakit jiwa atau anak kecil tidaklah cukup.


b.

Saksi-saksi tersebut haruslah dua laki-laki atau satu laki-laki dan dua perempuan. Nikah tidak sah dengan hanya satu saksi. Karena dalam hadis,


“Nikah tidak sah tanpa wali dan dua saksi yang adil.”


(Abu Dawud, Nikah, 19)

demikianlah firman-Nya. Allah Ta’ala berfirman:



“Ambilah dua saksi dari kalangan laki-laki kalian. Jika tidak ditemukan dua laki-laki, maka cukup satu laki-laki dan dua perempuan yang kalian anggap sebagai saksi yang dapat dipercaya.”



(Al-Baqarah, 2/282)

.

Menurut Imam Syafi’i, ayat ini tidak mencakup akad nikah. Seperti dalam hukuman qisas dan hukuman syariah lainnya, dalam pernikahan, kedua saksi harus laki-laki. Mazhab Hambali dan Maliki juga berpendapat sama.

Menurut mazhab Hanafi, perempuan dapat menjadi saksi, seperti halnya mereka menjadi pihak dalam pernikahan, dengan jumlah saksi perempuan dua orang untuk satu saksi laki-laki. Kesaksian mereka hanya tidak diterima dalam kasus hukuman had dan qisas karena kemungkinan lupa dan lalai. Karena hukuman had gugur jika ada keraguan.

(lihat es-Serahsî el-Mebsût, Mesir 1324-1331/1906-1912, V, 32, 33; ez-Zühaylî, VII, 74, 75; Hamdi Döndüren, hlm. 208, 209).


c.

Seorang saksi harus bebas.

Mayoritas ulama, kecuali mazhab Hanbali, menyatakan bahwa saksi haruslah orang yang merdeka. Sedangkan menurut mazhab Hanbali, budak dapat menjadi saksi dalam pernikahan, sebagaimana ia dapat menjadi saksi dalam hal-hal lain, karena tidak ada ayat, hadis, atau ijma yang melarangnya.

(az-Zuhayli, VII, 75).


d.

Harus seorang Muslim.

Ada kesepakatan bahwa dalam pernikahan di mana kedua belah pihak adalah Muslim, kedua saksi harus Muslim. Karena orang non-Muslim tidak memiliki hak wali atas orang Muslim.

(lihat en-Nisâ, 4/141; el-Kâsânî, II, 253)

Menurut Abu Hanifah dan Abu Yusuf, jika kedua pihak atau hanya pihak perempuan adalah Ahl al-Kitab, maka saksi juga bisa berasal dari Ahl al-Kitab.


e.

Menurut mayoritas ulama, kemampuan melihat bukanlah syarat, melainkan kemampuan mendengar dan memahami yang menjadi syarat. Oleh karena itu, saksi harus memahami kata-kata yang diucapkan dalam akad nikah. Karena itulah tujuan kesaksian. Jika tidak, saksi dapat mengira upacara pertunangan atau janji kawin sebagai akad nikah. Hal ini akan menyebabkan kesalahpahaman di masyarakat.


f.

Para saksi dapat berasal dari keluarga terdekat, keturunan, atau kerabat lainnya dari pasangan yang akan menikah. Oleh karena itu, ibu, ayah, kakek, dan nenek, serta putra atau putri pasangan tersebut—jika memenuhi kualifikasi yang disebutkan di atas—dapat menjadi saksi. Menurut pendapat mayoritas, jika salah satu kerabat ini turut serta sebagai wali dalam akad nikah, maka ia tidak dianggap sebagai saksi.

(al-Kâsânî, II / 253, 254; al-Fatâwâl-Hindiyye, I / 267, 268).


g.

Menurut mazhab Hanafi, kesaksian saksi tidak wajib adil. Kesaksian dua orang fasik pun sudah cukup. Karena orang fasik berhak menjadi wali.

Jika pernikahan dilakukan dengan saksi yang memenuhi syarat-syarat di atas, maka pernikahan tersebut sah.


Salam dan doa…

Islam dengan Pertanyaan-Pertanyaan

Pertanyaan Terbaru

Pertanyaan Hari Ini