Bolehkah seorang wanita yang menganut mazhab Syafi’i menikah kembali dengan mantan suaminya melalui wakil, dan apakah izin wali diperlukan?

Detail Pertanyaan



– Menurut mazhab Syafi’i,

Jika seorang suami istri bercerai, dan mereka ingin menikah kembali, apakah persetujuan ayah dari wanita yang bermazhab Syafi’i diperlukan? (Suaminya bermazhab Hanafi, wanita tersebut bermazhab Syafi’i)

Jawaban

Saudara kami yang terhormat,


Dalam mazhab Hanafi, seorang wanita yang telah mencapai usia dewasa dan berakal, dapat menikah tanpa perantara wali, sama seperti laki-laki.

Namun, jika seorang gadis atau wanita dewasa menikah dengan seorang pria yang tidak setara (tidak sepadan), wali tersebut dapat membatalkan pernikahan tersebut.

(Merginani, Hidaye, I, 231).


Dalam mazhab-mazhab selain Hanafi, baik itu gadis atau janda, seorang wanita hanya dapat dinikahkan oleh wali-nya.

Selain itu, wali tidak perlu meminta izin dari putrinya yang masih perawan untuk menikahkannya. Namun, jika wanita yang berada di bawah waliatnya adalah janda, maka wali hanya dapat menikahkannya dengan izin darinya. Mazhab-mazhab ini,


“Tidak ada pernikahan tanpa wali.”


(Bukhari, Nikah, 36; Abu Dawud, Nikah, 19; Tirmizi, 14, 17)

menganggap hadis ini dan hadis-hadis serupa secara mutlak dan menganggap bahwa perempuan

-meskipun telah mendapatkan persetujuan-

mereka mengatakan bahwa mereka hanya akan menikah melalui wali mereka.

(Asy-Syafi’i, al-Um, V, 21; Sahnun, al-Mudawwanatu’l-Kubra, II, 165; Ibnu Hazm, al-Muhalla, IX, 31–32; Ibnu Kudamah, al-Mughni, VII, 5).


Sedangkan, mazhab Hanafi…

Mereka menafsirkan hadis-hadis ini sebagai berikut: gadis dan wanita yang belum sepenuhnya berhak mengatur hidupnya sendiri hanya dapat menikah melalui wali mereka. Dari segi penerapan hukum, tidak ada perbedaan antara seorang janda yang menikah kembali dengan mantan suaminya atau dengan orang lain.

Pentingnya peran wali dalam pernikahan bertujuan untuk memastikan bahwa ikatan pernikahan, yang akan menjadi dasar kehidupan bersama seumur hidup, diletakkan di atas fondasi yang kuat, sejauh mungkin, dengan melakukan riset yang diperlukan, serta untuk mencegah dan menghindari kesalahan yang tidak dapat diperbaiki dan dikembalikan, dan juga untuk mempermudah persatuan antara keluarga pihak yang akan menikah.


Kesimpulannya, pernikahan adalah institusi yang serius.

Oleh karena itu, izin wali harus diminta saat akad nikah. Meskipun pernikahan yang dilakukan tanpa izin wali dianggap sah menurut beberapa ulama Islam, para pihak harus mempertimbangkan hadis Nabi Muhammad (saw) yang disebutkan di atas dan berupaya untuk meminta izin wali saat menikah. Jika tidak ada alasan moral, agama, atau sosio-ekonomi yang menghalangi pernikahan, wali tidak boleh menyulitkan dengan menyalahgunakan wewenangnya.


Namun, jika wanita tersebut menjadi janda, ayahnya tidak dapat menikahkan wanita tersebut tanpa persetujuannya.

Karena Nabi Muhammad (saw) bersabda:


“Wanita janda tidak boleh dinikahi tanpa izinnya sendiri.”


[Bukhari, Nikah 41, Hiyal 3; Muslim, Nikah 64, (1419); Tirmizi, Nikah 17, 18, (1107, 1109)]

“Janganlah kamu menikahkan janda dengan orang lain tanpa izinnya.” Karena itu, para ulama, termasuk Imam Syafi’i, sepakat bahwa janda tidak boleh dinikahkan dengan orang lain tanpa izin atau persetujuannya. Jika ayah dari wanita tersebut tetap tidak setuju, mereka dapat melakukan pernikahan dengan meniru mazhab Hanafi.


Salam dan doa…

Islam dengan Pertanyaan-Pertanyaan

Pertanyaan Terbaru

Pertanyaan Hari Ini