Saudara kami yang terhormat,
Terdapat berbagai riwayat hadis mengenai hal ini. Beberapa di antaranya adalah sebagai berikut:
“Barangsiapa yang memisahkan satu tangannya dari ketaatan, maka ia akan menghadap Allah pada hari kiamat tanpa (memiliki) hujjah/dalil (untuk membela diri). Dan barangsiapa yang mati tanpa ada baiat di lehernya (tanpa berbaiat kepada seorang khalifah), maka ia mati dengan kematian Jahiliyah (seperti kematian di zaman Jahiliyah).”
(Muslim, Al-Imarah, 58)
“Jika seseorang tidak menyukai sesuatu dari perintah atasannya (pimpinan sipil, militer, atau administratif yang kepadanya ia tunduk), maka hendaklah ia bersabar! Karena jika ada orang yang menentang penguasa (pemerintah) sekecil apapun dan meninggal dalam keadaan itu, maka ia pasti telah meninggal dengan kematian jahiliyah!”
(Muslim, Al-Imarah, 56)
“Barangsiapa keluar dari ketaatan dan memisahkan diri dari jamaah, lalu mati dalam keadaan demikian, maka ia mati dengan kematian jahiliyah.”
(Muslim, Imarah, 53)
Para ulama, dalam hadis-hadis seperti ini,
“Jahiliyah mati dengan kematiannya”
ungkapan,
“Mereka mati seperti orang-orang yang tidak terarah, yang tidak memiliki pemimpin, seperti di zaman Jahiliyah.”
mereka mengerti seperti itu.
(lihat Nevevî, syarah hadits yang bersangkutan)
Penggunaan gaya bahasa ini dalam hadis dimaksudkan untuk mencegah umat Islam dari pemberontakan terhadap otoritas dan menciptakan lingkungan yang anarkis. Oleh karena itu, seseorang yang tidak memberikan baiat harus dipahami sebagai orang yang berdosa, bukan sebagai orang kafir.
(lihat Ibnu Hajar, syarah hadits yang bersangkutan)
Para ulama Islam, berdasarkan hadis ini dan hadis-hadis serupa, menganjurkan untuk tidak menentang para pemimpin negara, meskipun mereka zalim, untuk taat kepada mereka selama tidak bertentangan dengan Allah, dan untuk tidak menciptakan kekosongan otoritas yang dapat menyebabkan masyarakat jatuh ke dalam anarki dan fitnah.
(Ibn Hajar, ibid)
Dalam riwayat hadis yang telah kami berikan terjemahannya,
“Jahiliyah mati dengan kematiannya”
ungkapan tersebut, dalam beberapa riwayat yang berbeda
“kemunafikan”
dinyatakan dengan konsep yang sama. Namun, kedua ungkapan ini dapat dipahami dengan makna yang sama.
Berikut adalah terjemahan hadis terkait: Abu Hurairah meriwayatkan: Nabi Muhammad (saw) bersabda:
“Siapa yang tidak marah atau tidak melampiaskan amarahnya
-sebagai niat-
Jika seseorang meninggal tanpa mempersiapkan diri untuk jihad, maka ia akan mati dengan membawa sebagian kemunafikan (dalam dirinya).”
(Muslim, Al-Imarah, 158; Abu Dawud, Al-Jihad, 17; Nasa’i, Al-Jihad, 2; Ahmad bin Hanbal, 2/374)
Abdullah bin Mubarak berpendapat bahwa hadis ini hanya berlaku pada masa hidup Nabi Muhammad (saw).
Menurut beberapa ulama lain, hadis ini berlaku sepanjang waktu. Artinya: Orang yang tidak pergi berjihad dan tidak memiliki niat untuk berjihad,
-yang melarikan diri dari perang, yang tidak pergi ke perang, yang tertinggal di belakang-
Ia telah menampung salah satu sifat orang munafik di dalam dirinya.
(Nevevî, penjelasan hadis yang bersangkutan)
Memiliki sifat munafik bukanlah sama artinya dengan kafir. Artinya, itu adalah sifat yang tidak pantas bagi seorang Muslim. Karena, seorang mukmin…
-agar menjadi seorang mukmin sejati-
Bukanlah suatu keharusan bagi seorang mukmin untuk selalu memiliki semua sifat-sifat keimanan. Contohnya, berbohong juga merupakan sifat kufur. Namun, seorang mukmin tidak menjadi kafir hanya karena berbohong. Sebaliknya, seorang kafir juga…
-sebuah sifat dari iman-
Menjadi jujur saja tidak cukup untuk dianggap sebagai orang yang beriman. Penggunaan gaya bahasa ini dalam hadis ditujukan untuk tujuan mendorong jihad, dan sebagai peringatan agar tidak ketinggalan…
Salam dan doa…
Islam dengan Pertanyaan-Pertanyaan