Sekitar dua tahun yang lalu, saya meminjamkan uang kepada seorang teman dengan kesepakatan akan dikembalikan dalam tiga sampai lima bulan. Namun, karena kondisi keuangan temannya semakin memburuk, ia belum bisa melunasi hutangnya. Bisakah saya menghitung seluruh atau sebagian dari hutang tersebut sebagai zakat? Apakah saya harus memberitahukan niat saya ini kepada teman saya agar bisa dianggap sebagai zakat?
Saudara kami yang terhormat,
Menurut mazhab Hanafi
tidak dianggap tepat untuk menghitungnya sebagai zakat yang akan diterima.
Karena
“Saat memberikan zakat, uang tersebut harus menjadi milik orang yang memberikannya dan harus diberikan dengan niat zakat.”
disebutkan. Dari sudut pandang ini, yang terbaik adalah kreditur memberikan zakat kepada debitur, dan debitur membayar hutangnya kepada kreditur. Namun, tidak tepat untuk menganggap ini sebagai suatu syarat. Artinya, orang yang bertanggung jawab untuk memberikan zakat, kepada seorang fakir miskin yang memiliki hutang padanya,
“Jika kau membayar hutangmu padaku, aku akan memberimu zakat.”
Jika memberikan zakat dengan mengatakan demikian, maka itu tidak diperbolehkan.
Namun, jika kedua pihak berniat demikian tanpa syarat, maka apa yang diberikan dianggap sebagai zakat dan utang pun terbayar. Bahkan, orang yang berutang dapat memberikan kepada kreditur
“Keadaan saya tidak memungkinkan, jika Anda memberi saya zakat, saya akan melunasi hutang Anda.”
Jika dia mengatakan itu, dan dia memberikannya, maka itu tetap diperbolehkan. Karena itu tidak diberikan secara bersyarat. Mungkin ada tawaran yang telah terjadi.
(al-Anwar, 1/151).
Karena karakteristik masalah ini, untuk menghitung uang yang dimiliki oleh debitur sebagai zakat,
“Berikan zakat kepada orang yang berhutang terlebih dahulu, lalu minta kembali hutangnya segera setelah itu.”
ada juga yang mengatakan;
“Orang yang berhutang harus mencari uang untuk membayar hutangnya, dan setelah membayar hutang, ia harus segera diberi zakat agar terbebas dari hutang yang dibebankan kepadanya.”
Ada juga yang mengatakan demikian… Praktik di masa lalu pun demikian. Hal ini dianggap perlu untuk menghindari agar uang yang terpendam tidak dianggap sebagai zakat dan untuk memenuhi syarat pemilikan dalam fiqh.
Namun, praktik ini yang muncul dari pemahaman yang sempit tentang pembebasan hutang, dapat menyinggung perasaan debitur, oleh karena itu, berdasarkan informasi yang diberikan dalam Risalah Ilmu Hadits (Ilmihal) dan penentuan yang mencerminkan pandangan lain dari Diyanet, kepada debitur,
“Hutangku padamu telah kuanggap sebagai zakat, jangan merasa berhutang, bersantailah! Hutangmu telah dihapuskan…”
mengatakan demikian juga dapat dianggap sebagai ungkapan yang cukup untuk memberikan zakat. Tidak perlu ada paksaan yang merendahkan seperti memberikan uang dan meminta kembali. Mengartikan pemberian secara luas seperti ini lebih disukai karena menguntungkan mereka yang membutuhkan, demikian pendapat yang lebih disukai.
Penting untuk dicatat bahwa pandangan ini meringankan beban para peminjam yang membutuhkan, dan juga memudahkan penghitungan zakat yang akan mereka terima. Jika tidak ada cara lain, dan peminjam juga merupakan orang yang membutuhkan dan miskin, maka mereka dapat memanfaatkan pilihan ini.
Salam dan doa…
Islam dengan Pertanyaan-Pertanyaan