Apa yang harus dilakukan jika tawaf dilakukan tanpa wudu? Apa yang harus dilakukan jika shalat tawaf kelima dilakukan tanpa wudu?

Detail Pertanyaan


– Saya menyelesaikan putaran ke-7 tawaf Umrah tanpa berwudu. Apa yang harus saya lakukan?

Jawaban

Saudara kami yang terhormat,


Menurut mazhab Syafi’i,

Melakukan tawaf dalam keadaan suci (bersuci) adalah wajib. Jika seseorang batal suci (wudhu) selama tawaf, maka ia harus membasuh wudhu dan melengkapi sisa putaran tawafnya. Memulai tawaf dari awal bukanlah kewajiban, melainkan sunnah.

(lihat V. Zuhaylî, el-Fıkhu’l-İslamî, 3/157)


Menurut mazhab Hanafi,

Berwudu adalah wajib untuk melakukan thawaf di Ka’bah. Seseorang yang melakukan thawaf di Ka’bah tanpa wudu bertanggung jawab karena telah meninggalkan kewajiban, tetapi thawaf yang dilakukannya tetap sah dan berlaku. Namun, Nabi Muhammad (saw) bersabda tentang hal ini:


“Tawaf itu seperti shalat. Tetapi berbicara di saat tawaf diperbolehkan. Barangsiapa berbicara saat tawaf, hendaklah ia mengucapkan kata-kata yang baik.”


(Tirmizi, Hajj, 112; Nasa’i, Manasik, 126)


– Apa yang harus dilakukan oleh seseorang yang wuduhnya batal saat tawaf?

Orang yang wuduhnya batal saat tawaf, harus menghentikan tawafnya dan

melakukan wudu lalu melanjutkan tawaf dari tempat yang ditinggalkannya

; jika dia mau, dia bisa mengulang tawaf dari awal.


– Bagaimana jika seseorang yang sedang melakukan tawaf Umroh, mengalami batal wudhu pada salah satu dari empat putaran pertama, lalu melanjutkan tawaf, melakukan sa’i, dan mencukur rambutnya untuk keluar dari ihram?

Dalam situasi ini, tawaf dan sa’i orang tersebut tetap sah. Namun, karena ia melakukan tawaf tanpa wudu, ia harus membayar dam (menyembelih kambing atau domba). Menurut mazhab Syafi’i, Maliki, dan Hambali, karena pembersihan dari hadas adalah syarat sahnya tawaf, maka tawaf dan sa’i orang tersebut tidak sah; ia harus berwudu dan berihram kembali untuk mengulanginya. Selain itu, karena ia mencukur rambut dan mengenakan pakaian sebelum waktu melepaskan ihram, ia harus membayar denda. Oleh karena itu, ia dapat memilih salah satu dari hukuman yang diberikan, yaitu dua dam, puasa enam hari, atau sedekah sebanyak 12 zakat fitrah.


– Apakah seseorang yang menganut mazhab Hanafi dapat meniru mazhab Syafi’i jika tangannya berdarah selama umrah atau tawaf ziarah?

Bagi seseorang yang bermazhab Hanafi, jika tangannya berdarah saat thawaf, wudhu-nya batal; yang harus dilakukan orang tersebut adalah mengambil wudhu dan melanjutkan thawaf dari tempat yang ditinggalkan atau mengulanginya. Jika ia melanjutkan umrah atau thawaf ziarah tanpa wudhu, maka ia harus membayar dam; jika ia mengambil wudhu dan mengulang thawaf, maka dam tersebut gugur. Jika karena sakit, usia tua, atau kerumunan yang padat, mengambil wudhu ulang menjadi sulit, maka ia dapat meniru mazhab Syafi’i untuk melanjutkan thawafnya.


– Apa yang harus dilakukan oleh seseorang yang melakukan tawaf Umrah tanpa wudu, atau yang wudunya batal saat tawaf dan melanjutkan tawaf tanpa mengambil wudu kembali?

Melakukan tawaf Umrah seluruhnya atau sebagian, bahkan satu putaran saja, dalam keadaan junub, tidak berwudu, sedang nifas, atau sedang haid adalah haram. Jika dilakukan ulang tanpa keluar dari ihram, maka hukuman tersebut hilang.


– Apa yang harus dilakukan jika jumlah putaran tawaf tidak lengkap?

Empat putaran pertama tawaf adalah wajib, sedangkan tiga putaran berikutnya adalah sunnah. Oleh karena itu, tawaf seseorang sah jika telah melakukan empat putaran pertama. Jika putaran yang kurang kemudian diselesaikan sesuai tata caranya, maka tidak ada hukuman. Jika satu atau lebih dari tiga putaran sunnah tersebut tidak dilakukan, maka wajib membayar dam (denda) karena telah meninggalkan kewajiban sunnah.


(lihat: Kepresidenan Urusan Agama, Pertanyaan yang Sering Diajukan tentang Haji, hlm. 43-48)


– Apa yang harus dilakukan jika seseorang melakukan Tawaf Ziyarah tanpa berwudu dan langsung pulang ke rumah?

Dalam situasi ini, jika ada kemungkinan untuk kembali dan mengulangi tawaf, maka dia harus melakukannya. Jadi, kembali adalah hal yang diperbolehkan dan cukup. Jika hal itu tidak memungkinkan, maka dia boleh menyembelih seekor domba atau mengirimkan uang untuk membeli domba di dalam Harem dengan tujuan tersebut. Ada yang mengatakan bahwa ini adalah yang paling utama. Dan itulah yang benar.

(At-Tebyin, Zeylai, Fatawa-i Hindiyye)


– Apa yang harus dilakukan seseorang yang meninggalkan tiga putaran tawaf ziarah dan pulang ke rumahnya?

Orang yang meninggalkan tiga putaran atau kurang dari tawaf ziarah dan langsung pulang ke rumahnya, tidak perlu lagi kembali ke Mekkah, cukup mengirimkan seekor domba. Namun, jika dia kembali dan menyelesaikan putaran yang tersisa, maka tidak perlu lagi menyembelih hewan kurban.

(Al-Hidayah; Merginani)


– Apa yang harus dilakukan seseorang yang melakukan kurang dari tujuh putaran Tawaf Ziyarah tanpa berwudu dan kemudian pulang ke rumah?

Jika dalam keadaan ini dia pulang ke rumah tanpa menyelesaikan sisa bagian tersebut, maka dia harus mendistribusikan sedekah berupa setengah sa’ (1,667 kg) gandum untuk setiap shawt. Pengembaliannya tidak diperlukan.

Jika seseorang melakukan sebagian kecil dari tawaf yang dimaksud dalam keadaan junub, lalu pergi menemui istri dan anak-anaknya, maka ia harus menyembelih seekor domba. Jika ia berada di Mekkah, ia tidak perlu menyembelih domba. Ia harus mengulangi putaran yang telah dilakukannya dalam keadaan junub.

Menurut Imam Abu Hanifah, jika dikembalikan dalam tiga hari pertama Idul Fitri, maka tidak ada kewajiban. Jika dikembalikan setelah itu, maka harus disedekahkan setengah sa’ (1,667 kg) gandum untuk setiap putaran (syawt).

(Syarh-i Tahawi – Fatawa-yi Hindiyye.)

Berpegang pada kedua pendapat ini diperbolehkan.


– Jika Melakukan Tawaf Wada’ tanpa Wudu:

Orang yang melakukan tawaf wada’ tanpa wudu, jika dia mengulanginya, maka tidak ada kewajiban lain. Jika dia tidak dapat mengulanginya, karena misalnya sudah meninggalkan Mekkah, maka dia harus memberikan sedekah. Inilah pendapat dan kesimpulan yang paling sahih.

(Siraj al-Wahhaj – Halwani.)


– Apa yang Harus Dilakukan Jika Seseorang yang Sedang Junub Melakukan Tawaf Wada’?

Jika seseorang melakukan tawaf wada’ dalam keadaan junub, baik seluruhnya maupun sebagian besar putarannya, maka ia harus mengulanginya jika belum meninggalkan Mekkah. Tidak ada hukuman lain yang diperlukan. Namun, jika ia telah meninggalkan Mekkah bersama keluarga dan anak-anaknya, maka ia harus menyembelih seekor kambing.


– Jika Sedikit dari Tawaf Wada’ Dilakukan dalam Keadaan Junub:

Jika seseorang melakukan kurang dari tujuh putaran tawaf wada’ dalam keadaan junub, lalu pulang ke rumahnya tanpa menggantinya, maka ia harus mendistribusikan sedekah berupa setengah sa’ (1,667 kg) gandum untuk setiap putaran yang dilakukannya dalam keadaan junub. Jika ia belum meninggalkan Mekkah, dan mengganti putaran yang dilakukannya dalam keadaan junub dengan mandi suci, maka kewajiban telah terpenuhi dan tidak ada hukuman lain yang diperlukan. (Syarh-i Tahawi – Fatawa-yi Hindiyye.)


– Apa yang Harus Dilakukan Jika Meninggalkan Tawaf Wada’ (Tawaf Perpisahan)?

Jika ia meninggalkan seluruh atau sebagian besar tawaf wada’, ia wajib menyembelih seekor domba jika tidak menggantinya. Jika ia hanya meninggalkan tiga atau dua putaran, ia wajib memberi sedekah berupa setengah sa’ gandum atau nilainya kepada seorang fakir untuk setiap putaran yang ditinggalkan.

(Al-Kafi – Hakim Syahid Al-Marwazi.)

Jika seseorang melakukan tawaf ziarah dalam keadaan junub, kemudian sebelum menggantinya, ia melakukan tawaf wada’ pada hari ketiga Idul Adha dalam keadaan suci, maka tawaf ziarah yang dilakukan dalam keadaan junub tersebut dianggap batal dan ia dianggap telah meninggalkan tawaf wada’. Jika ia masih bisa menggantinya, ia harus menggantinya, jika tidak, ia harus menyembelih seekor hewan. Jika ia melakukan tawaf wada’ di akhir hari-hari tasyrik, maka tawaf ziarah yang dilakukan dalam keadaan junub tersebut tetap dianggap batal, namun menurut Imam Abu Hanifah, ia harus menyembelih dua ekor hewan: satu karena meninggalkan tawaf wada’, dan satu lagi karena tidak dapat melakukan tawaf ziarah dalam tiga hari pertama Idul Adha.

(Al-Muhit – Serahsi – Nahrul-Faiq Ala Kenzi’d-Dakaik – Ibnu Nujaym – Salinan Tangan: 1177.)


– Jika Melakukan Tawaf Ziyarah Tanpa Berwudu:

Jika seseorang melakukan Tawaf Ziyarah tanpa wudu, dan Tawaf Wada’ di hari terakhir hari-hari Tasyrik dengan wudu, maka ia hanya perlu mengeluarkan darah. Itu pun karena ia melakukan tawaf tanpa wudu.

(At-Tebyin – Zeylai – Fatwa-yi Hindiyye.)


– Jika melakukan Tawaf Ziyarah tanpa wudu, dan Tawaf Wada’ dengan keadaan junub:

Dalam kasus ini, dia harus membayar dua damai darah: Satu karena melakukan tawaf Ziyarah tanpa wudu, dan satu lagi karena melakukan tawaf Wada’ dalam keadaan junub.


– Apa yang Harus Dilakukan Seseorang yang Meninggalkan Tawaf Ziyarah dan Tawaf Wada’?

Seperti yang diketahui, Tawaf Ziyarah adalah rukun kedua ibadah haji, jika ditinggalkan maka haji menjadi kurang sempurna. Ia tidak boleh mendekati istrinya sebelum melaksanakannya. Waktu yang diwajibkan adalah tiga hari pertama Idul Adha. Tidak ada waktu tertentu untuk melaksanakannya sebagai fardhu, dapat dilakukan setiap hari sepanjang tahun.


– Mengganti Tawaf Ziyarah dengan Tawaf Wada’ (Tawaf Perpisahan):

Jika ia meninggalkan kedua tawaf ini dan pergi, lalu kembali dan melaksanakannya, maka ia hanya perlu menyedekahkan darah. Hal ini karena ia tidak melangsungkan tawaf ziarah pada hari-hari yang diwajibkan. Tidak ada kewajiban lain karena penundaan tawaf wada’. Ini adalah ijtihad Imam Abu Hanifa.


– Jika Hanya Meninggalkan Tawaf Ziyarah:

Jika seseorang meninggalkan tawaf ziarah tetapi melakukan tawaf wada’, maka tawaf wada’ menggantikan tawaf ziarah, dan dia harus menyembelih seekor domba karena tawaf ziarah tidak dilakukan.

(Fatwa-Fatwa Hindiyyah: 1/246 – Bab Kelima.)

Jika seseorang meninggalkan empat atau lebih putaran Tawaf Ziyarah, tetapi melakukan Tawaf Wada’ dengan lengkap, maka empat atau lebih putaran Tawaf Wada’ menggantikan Tawaf Ziyarah yang ditinggalkan. Karena sebagian besar Tawaf Wada’ tidak dilakukan, maka -menurut Imam Abu Hanifah- ia harus menyedekahkan darah. Tentu saja, ini berlaku jika penggantian tidak mungkin dilakukan…


– Jika Melakukan Empat Putaran untuk Setiap Tawaf Tersebut:

Jika ia melakukan empat putaran untuk masing-masing dari dua tawaf yang disebutkan, maka tujuh putaran tersebut dihitung sebagai Tawaf Ziyarah, dan satu putaran tersisa untuk Tawaf Wada’ sehingga enam putaran menjadi tidak sah. Jika ia tidak menggantinya, ia harus menyembelih seekor domba.

Jika ia meninggalkan empat putaran dari setiap tawaf, maka tersisa enam putaran yang dilakukan dan ini dianggap sebagai tawaf ziarah. Dalam hal ini, ia harus menyembelih dua ekor domba: satu karena meninggalkan sisa tawaf ziarah, dan satu lagi karena meninggalkan tawaf wada’.


– Jika Hanya Melakukan Empat Siraman Tawaf Ziyarah:

Jika seseorang hanya melakukan empat putaran tawaf ziarah dan sama sekali tidak melakukan tawaf wada’, maka hajinya tetap sah. Karena ia telah melaksanakan sebagian besar tawaf yang wajib, yaitu sejumlah yang dianggap sebagai rukun. Namun, dalam keadaan ini, ia harus menyembelih dua ekor kambing, satu karena tawaf ziarah yang tidak lengkap dan satu lagi karena meninggalkan tawaf wada’. Ia dapat memberikan uang kepada orang yang akan melakukan haji tahun berikutnya untuk menyembelihnya di Mina atau di wilayah Haram.

(Fatwa-fatwa Qadi Khan – Fatwa-fatwa Hindiyyah.)


– Apa yang Harus Dilakukan Jika Orang yang Datang dari Luar Mekkah Melakukan Tawaf Kudum Tanpa Berwudu?


Apa yang harus dilakukan jika seseorang melakukan Tawaf Kudum tanpa wudu atau dalam keadaan junub?

Menurut mayoritas ulama, tawaf ini sunnah, tetapi jika dilakukan tanpa wudu, maka harus memberikan sedekah. Jika dilakukan dalam keadaan junub, maka harus menyembelih seekor kambing.

(Siracül-Vehhac – Fatwa-Fatwa Hindiyye: 1/247.)

Dalam Gayetü’l-Beyân, hal ini juga disinggung dan dinyatakan sebagai berikut:

Jika seseorang melakukan tawaf qudum tanpa wudu, lalu segera setelah itu melakukan sa’i dan lempar batu tanpa wudu, maka hal itu diperbolehkan. Namun, lebih utama jika ia mengulangi sa’i dan lempar batu setelah tawaf ziarah. Tetapi jika seseorang melakukan tawaf qudum dan kemudian sa’i dan lempar batu dalam keadaan junub, maka dalam hal ini, ia wajib melakukan sa’i dan lempar batu segera setelah tawaf ziarah.

(Bahrirâik – Ibnu Nujaym.)


– Jika melakukan Tawaf Umroh dalam keadaan tidak berwudhu atau junub:

Jika seseorang melakukan tawaf Umrah tanpa wudu atau dalam keadaan junub, lalu pulang ke rumahnya tanpa menggantinya, maka ia harus menyembelih seekor domba sebagai kurban, berdasarkan pendapat yang lebih baik (istihsan). Jika ia menggantinya sebelum meninggalkan Mekkah, maka tidak ada kewajiban.

(Al-Muhit – Serahsî.)

Jika Sa’i dilakukan tanpa wudu, maka tidak ada yang perlu dilakukan. Dalam hal ini, jika tawaf diulang tetapi Sa’i tidak diulang, maka umrah dianggap telah selesai.

(Al-Hidayah-Marghinani.)


(lihat Celal Yıldırım, Fiqh Islam dan Sumber-Sumbernya, Uysal Kitabevi: 2/375-379)


Salam dan doa…

Islam dengan Pertanyaan-Pertanyaan

Pertanyaan Terbaru

Pertanyaan Hari Ini